FENOMENA "SANTRI"
Ada banyak hasil penelitian dan karya tulis yang tersaji terkait dengan "santri", dari yang fiksi hingga yang ilmiah. Beragam data dan argumen dilontarkan untuk memaknai dan mendefinisikan kata "santri" itu sendiri.
Pemaknaan-pemaknaan kata "santri" tersebut dilatari dari ragam sudut pandang kelompok/orang yang memaknainya. Ada yang memaknai dasi sisi bahasa, kultur, tradisi bahkan dari sudut agama.
Ragam makna "santri" selama ini diantaranya adalah;
1. "Santri" berasal dari kata "Syastri", yang memiliki makna orang/kelompok yang mempelajari kitab suci.
2. "Santri" berasal dari kata "Cantrik", yang bermakna orang/pengawal setia (haddam/ajudan).
3. "Santri" berasal dari dua suku kata "San" yang berarti "suci", dan "Tri" yang berarti "tiga". Santri dimaknai sebagai orang/kelompok yang menjaga tiga nilai suci.
4. "Santri" merupakan kata serapan dari kata "Satria", yang bermakna jantan atau pemberani.
Pendefinisian atau pemaknaan ini menggambarkan tentang fenomena "santri" yang hingga hari ini tetap mempertahankan eksistensinya. Entah definisi mana yang mendekati kebenaran, nyaris benar, benar atau paling benar. Yang pasti, apapun definisinya, "santri" tetaplah "santri" dengan segenap keunikan hidup di dalamnya.
Uniknya, dari keempat definisi di atas, semuanya tercermin dalam kehidupan para kaum pembelajar di pondok pesantren dari masa ke masa. Mereka adalah kelompok yang mempelajari kitab suci Al-Qur'an. Sehari-hari mereka juga berkhidmah dan mengabdi kepada guru/kiai sebagai wujud penghormatan dan kepasrahan. Mereka juga sangat menjunjung tinggi tiga pilar agama, yaitu "iman, Islam dan ihsan". Mereka juga memiliki sifat kesatria dalam menegakkan agama, membela negara, mengobarkan semangat perjuangan yang dikumandangkan dalam Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Inilah hari yang menjadi momentum sejarah dalam menentukan Hari Santri Nasional pada setiap tanggal 22 Oktober.
SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL 2016
Jumat, 21 Oktober 2016
Sabtu, 15 Oktober 2016
PERADABAN SUKOREJO; Ikhtisar Perjalanan Satu Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo
PERADABAN SUKOREJO
Ikhtisar Perjalanan Satu Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Sukorejo Situbondo
Kini,
dunia pesantren bukanlah sekedar kepanjangan tangan dari Tarbiyah
Islamiah.
Pesantren bukan pula bagian dari kebudayaan (sub-kultur) di Nusantara. Lebih
dari itu, pesantren-pesantren tradisional di Jawa Timur (khususnya Pesantren
Sukorejo) yang berdiri pada awal abad ke 19, dengan kesederhanaannya telah
menanamkan dan melestarikan nilai-nilai Islam ahlus sunnah waljamaah. Salah
satu nilai yang biasa dikenal; manusia yang sempurna adalah manusia yang
berbuat baik dan berani melawan kemungkaran. Dari nilai tersebut, pesantren
telah membentuk budaya berbudi luhur dan jiwa perjuangan untuk mengusir
penjajah.
Pascakemerdekaan,
penanaman nilai-nilai tersebut belum tuntas. Sampai tahun 70-an, “wajah”
pesantren Nusantara yang masih merupakan bilik-bilik, musala, surau
dan ada beberapa yang telah menggunakan masjid sehingga pesantren masih
dipandang sebelah mata. Secara politis, keberadaan pesantren memang kurang
diperhitungkan, namun secara ketokohan, sosok Kiai Cholil Bangkalan
(1235-1343 H) dan K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947) serupa “penebar benih” bagi pesantren-pesantren
berikutnya. Lalu, bagaimana dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo?
Mulanya,
nama besar pesantren tersebut dikenal sebagai pesantren penggembleng ilmu Islam
dan ilmu kedigdayaan. Lambat laun, pesantren ini semakin tersohor dimasa
kepemimpinan KHR. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), sebagai
penerus Pesantren Salafiyah Syafi’iyah sekaligus generasi perintis organisasi
Nahdlatul Ulama. Ditambah lagi dengan cara berpikir yang “tajam” dan mendalam
mengenai perubahan sistem pesantren dari model sorogan dan bandongan
menjadi model madrasi atau madrasah, model tersebut menambah citra diri
pesantren Sukorejo semakin terkenal sebagai pesantren pembaharu, khususnya di
pulau Jawa.
Lembaga-lembaga
pendidikan Islam secara keseluruhan tetap menjalankan peran yang sangat
krusial dalam tiga hal pokok: Pertama, transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan
Islam (transmission of Islamic knowledge).
Kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance
of Islamic tradition). Ketiga, reproduksi (calon-calon) ulama (reproduction of ulama). Di Indonesia,
keberadaan pesantren sangat diminati dan bahkan menjadi sentral produk
pemikiran Islam.
Menarik untuk
melihat bagaimana sistem pendidikan di pesantren Sukorejo mampu
membentuk self (diri/jiwa) manusia
seutuhnya. Ketertarikan pada konsep self
ini memang jarang dilirik dalam kajian pesantren. Bahkan dalam kajian kejiwaan
atau ke-diri-an,
sangat sukar dijumpai karya yang secara khusus mengaitkannya dengan pesantren.
Hal ini disebabkan, karena cara pandangan terhadap pesantren lebih pada cara
pandang dalam kajian ”agama sebagai sistem budaya” atau ”agama sebagai sistem
nilai.” Harus diakui bahwa dominasi cara pandang kajian mengenai pesantren
sebagai ”the other” dalam ilmu
sosial, khususnya ketika muncul dikotomi klasifikasi yang diberikan oleh Geertz
telah banyak mengundang sejumlah penelitian mengenai pesantren melalui cara
pandang tersebut. Sehingga penjelasan mengenai dunia kepesantrenan lebih banyak
menganalisis ”apa yang bergerak” di dalam ”penjara
suci” tersebut, bukan pada substansi, khususnya pembangunan nafs (jiwa) di kalangan warga pesantren.
Hakikat pondok pesantren sebenarnya terletak pada isi/jiwanya, bukan pada
kulitnya. Sedangkan pokok isi pondok pesantren adalah pendidikannya. Di dalam
pendidikan itulah harus terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan
terhadap falsafah hidup santri. Antara jiwa dan pendidikan yang telah terbina
di dalam pesantren tidak dapat dipisahkan. Konsep ini yang telah dipertemukan
dalam “ilmu alam” dan “ilmu amal”.
Pesantren Sukorejo bukan seperti pesantren-pesantren kebanyakan, pesatren Sukorejo
tumbuh dan berkembang sesuai dengan citra dan fitrahnya sendiri. Karenanya,
ilmu-ilmu yang dipelajari di pesantren Sukorejo adalah upaya untuk membina
peradaban umat Islam seutuhnya, dimana sumbu utamanya adalah ”Belajar layaknya
Nabi Adam dan berperilaku seperti Nabi Muhammad”.
Kelebihan lain dari Pesantren Sukorejo adalah hubungan yang sangat erat
dengan masyarakat sekitar pesantren. Pesantren bukan hanya sekedar menjadi transformer yang berperan sekali waktu.
Lebih dari itu, pesantren mampu memberi warna, corak, kultur, adat, budaya dan
karakter terhadap masyarakat sebagai kesatuan yang integral.
Kiai
Syamsul Arifin sang Muassis Ma’had tidak hanya mampu merubah hutan
menjadi pesantren, tidak hanya berhasil memindahkan binatang buas dan makluk
halus secara fisik belaka, namun jauh lebih dari itu, pemindahan
makhluk-makhluk tersebut telah mampu memindahkan insting (gharizah) hewani yang dimiliki oleh manusia sebagai hayawan an-natiq yang hidup di areal
babatan tersebut dan merubahnya menjadi manusia yang lebih beradab. Dimana
perbedaan mendasar antara manusia dan hewan adalah hati dan akal. Dengan hati
manusia dapat memiliki dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya di
tengah-tengah masyarakat sesuai fitrah kemanusiaannya, baik sebagai
hamba Allah maupun selaku khalifah-Nya di muka bumi. Tatanan dan ajaran yang
dilakukan akirnya membentuk sebuah peradaban.
Apa dan bagaimana pesantren Sukorejo berperan sebagai lembaga pengembangan
ilmu agama sekaligus sebagai lembaga yang intens dalam melakukan transformasi
sosial, perlu untuk digali dan dieksplorasi. Penting meneladani perilaku,
pemikiran dan peran para founding fathers
dan pengasuh dalam membangun, menjalankan dan mengembangkan Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dari masa ke masa selama kurun waktu seabad lebih,
agar kita tetap merasa bersanding bersama mereka. Di dalam sebuah Atsar Rasulullah SAW. bersabda:
“Barangsiapa membuat sejarah orang
mukmin (yang sudah meninggal) sama artinya ia menghidupkannya kembali;
Barangsiapa membaca sejarahnya, seolah-olah ia mengun-junginya; dan barangsiapa
yang mengunjunginya, maka Allah akan memberinya Surga.”[1]
Buku ini merupakan refleksi perjalanan satu abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo Situbondo yang bertema “Mengukuhkan
Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Islam”. Dengan meneguhkan kembali pernyataan Louis Gottschalk—dalam “Understanding History: a Primer of Historical Method”(1958)—bahwa masa lampau
manusia tidak mungkin ditampilkan kembali secara utuh. Tidak mungkin dapat
direkonstruksi oleh daya ingat setajam apapun, dan penulisan buku ini yang dilakukan
dengan segala keterbatasan, sudah barang tentu di sana-sini masih terdapat
banyak kekurangan. Kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya
karya ini selalu kami harapkan. Lebih-lebih terhadap karya-karya kami ke depan,
mengingat sebagian besar dari kami adalah santri yang masih baru menjadi
penulis pemula.
Semoga karya ini cukup menjadi sumbangan yang berarti dalam peringatan satu
abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, serta kita mampu
menapaki, mengkaji, meneladani, merenungkan dan mengaktualisasikan apa yang
menjadi cita-cita pendiri dan pengasuh pesantren selama ini. Sebuah amanah yang
tidak semuanya tertulis, namun kita dapat memahaminya. Amin.
[1] Abdurrahman
bin Muhammad bin Husein bin Umar Ba’alawi, Bughyat al-Mustarsyidin, Darul Fikr, Beirut,
1417 H/1997 M.
Hal. 97.
Langganan:
Postingan (Atom)