Jumat, 09 Desember 2016

Jenderal Soedirman dan Kiai Azaim

Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan para pegawai dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Sebagaimana didefinisikan oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of directing and influencing the task related activities of group members.

Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan. Lebih jauh lagi, Griffin (2000) membagi pengertian kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu sebagai proses, dan sebagai atribut. Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa yang dilakukan oleh para pemimpin, yaitu proses di mana para pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memperjelas tujuan organisasi bagi para pegawai, bawahan, atau yang dipimpinnya, memotivasi mereka untuk mencapai tujuan tersebut, serta membantu menciptakan suatu budaya produktif dalam organisasi.

Dari sisi atribut, kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain tanpa menggunakan kekuatan fisik, sehingga orang-orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok yang layak memimpin mereka.

Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda.
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Demikian halnya dengan sosok KHR. Ach. Azaim Ibrahimy. Dalam usianya yang baru menginjak 32 tahun, beliau sudah ditahbiskan sebagai seorang tokoh besar, memimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo yang dirintis oleh
kakek buyutnya pada tahun 1908. Dalam tradisi masyarakat pesantren, seorang Kiai tidak hanya sebatas pemimpin secara struktural dalam lingkungan pesantren saja. Seorang pemimpin pesantren juga menjadi tokoh agama, tokoh masyarakat dan figur sosial sebagai representasi pewaris para Nabi sekaligus. Secara kultural, Kiai menjadi pemimpin masyarakat yang dipercaya dapat membimbing mereka kepada jalan kebenaran dan keselamatan.

Sebagai seorang tokoh, kepemimpinan Kiai meniscayakan sebuah keharusan yang menjadi kebutuhan para pengikutnya. Sebagai pimpinan tertinggi pondok pesantren, seorang Kiai harus memiliki kemampuan dan keterampilan manajerial yang mempuni dalam mengelola dan mengembangkannya. Sebagai tokoh agama, seorang Kiai dituntut untuk selalu bisa menyelesaikan persoalan keagamaan dalam kehidupan umatnya. Sebagai tokoh masyarakat, sosok Kiai selalu diharapkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat untuk selalu menyapa dan memberikan pencerahan dalam perkembangan kehidupan yang semakin kompleks.

Melalui berbagai even, Kiai Azaim tampil sebagai tokoh yang harus selalu serba bisa memenuhi selera berbagai kalangan, dari pejabat negara hingga tamu mancanegara. Dari polisi hingga politisi. Dari praktisi hingga akademisi. Dari TNI hingga buruh tani. Dari warga kota hingga penghuni pelosok desa. dan lain sebagainya.

Pada peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2016 yang lalu, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengungkapkan tiga jimat Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang selalu dibawanya saat perang gerilya untuk kemerdekaan Indonesia. Gatot menyebutkan, jimat pertama adalah tidak putus dari wudhu. Kedua, salat tepat waktu, dan jimat terakhir mengabdikan diri dengan tulus ikhlas membela Tanah Air. Dari sini kita dapat melihat bahwa kunci sukses sebagai seorang pemimpin adalah selalu menyandingkan antara kesalihan spiritual dan kesalihan sosial sebagai kesatuan yang integral dan tidak bisa dipisahkan.

Selain realitas tersebut, saya meyakini bahwa tokoh-tokoh besar yang ada dalam kehidupan kita adalah merupakan orang-orang terpilih di zamannya. Bagi orang-orang terpilih, Karisma sebagai seorang pemimpin akan selalu menyertai dimanapun dia berada dalam  apapun jabatannya. Teori ini dikenal dengan teori genetic, dimana menurut teori ini seorang pemimpin telah dilahirkan dengan bakat pemimpin. Dalam keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu ia akan menjadi pemimpin karena ia memang dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin.

Dalam teori ini, usia bukanlah penentu bagi seorang pemimpin untuk mendapatkan karismanya yang kuat. Dengan bakat kepemimpinan, karisma selalu menjadi pendamping dari setiap kepemimpinannya berapapun usia tokoh tersebut.

Jenderal Soedirman dan KHR. Ach. Azaim Ibrahimy adalah contoh pemimpin muda yang memiliki karisma kuat dan semangat perjuangan yang sangat luar biasa.

Semoga pemimpin masa depan bangsa ini, senantiasa terlahir dari orang-orang yang memang terpilih, baik tua maupun muda. Bukan dari kalangan orang yang memaksakan diri untuk terpilih.