Jumat, 21 Februari 2020

QASIDAH UNTUK SANG MUASSIS


Sudah menjadi kebiasaan bagi setiap santri, alumni, simpatisan dan masyarakat muslim lainnya berziarah ke maqbarah al-marhumin muassis (pendiri), pengasuh dan keluarga besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo. Dari berdzikir hingga menghatamkan Al-Qur'an dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Namun tak banyak yang menyadari pada sebuah bingkai pigura yang menggantung di dinding tepi barat areal maqbarah. Sebuah Qasidah berwarna dasar kuning yang ditulis dengan seni kaligrafi yang sangat indah.

Sebagaimana dikisahkan oleh KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy, qasidah ini adalah persembahan dari Al-Habib Haidharah bin Muhsin untuk memuji sosok KHR. Syamsul Arifin. Qasidah ini terinspirasi dari sebuang pengalaman spiritual (hadif rabbani) yang hanya dapat dialami oleh orang-orang shaleh yang memiliki kepekaan ruhani.

Berikut sekilas terjemah dari qasidah tersebut:

Wahai pelindung,, ya Kiai Syamsul Arifin, engkau bagaikan makanan pokok dan minuman bagi hati.

Suatu keajaiban, jika datang tamu-tamu yang mulia, tiba-tiba terjadi karomah banyak buah melimpah diketika itu.

Tiada banyak kata yang terucap, hanya bacaan  Al-Qur'an seolah menjadi dzikirnya setiap hari.

Kebakaran akan menjadi padam karena karomahnya. Hatimu bagi kami adalah rumah kehormatan (mihrab).

Katakanlah wahai para pecinta Allah, bahwa perlindungan yang kini menaungi tak akan terhenti.

Allah lah dzat yang Maha Mencukupi, dan pertolongannya telah menolong kami. Serta segala urusan
hanya kepada-Nya kembali.

Semoga kita senantiasa mendapat aliran syafaat dan barokah beliau, sebagai seorang yang shaleh, istiqamah dan ikhlas.

Jumat, 09 Desember 2016

Jenderal Soedirman dan Kiai Azaim

Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan para pegawai dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Sebagaimana didefinisikan oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of directing and influencing the task related activities of group members.

Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan. Lebih jauh lagi, Griffin (2000) membagi pengertian kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu sebagai proses, dan sebagai atribut. Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa yang dilakukan oleh para pemimpin, yaitu proses di mana para pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memperjelas tujuan organisasi bagi para pegawai, bawahan, atau yang dipimpinnya, memotivasi mereka untuk mencapai tujuan tersebut, serta membantu menciptakan suatu budaya produktif dalam organisasi.

Dari sisi atribut, kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain tanpa menggunakan kekuatan fisik, sehingga orang-orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok yang layak memimpin mereka.

Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Meski menderita sakit paru-paru yang parah, ia tetap bergerilya melawan Belanda.
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini.

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan oleh revolusi negeri ini.

Demikian halnya dengan sosok KHR. Ach. Azaim Ibrahimy. Dalam usianya yang baru menginjak 32 tahun, beliau sudah ditahbiskan sebagai seorang tokoh besar, memimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo yang dirintis oleh
kakek buyutnya pada tahun 1908. Dalam tradisi masyarakat pesantren, seorang Kiai tidak hanya sebatas pemimpin secara struktural dalam lingkungan pesantren saja. Seorang pemimpin pesantren juga menjadi tokoh agama, tokoh masyarakat dan figur sosial sebagai representasi pewaris para Nabi sekaligus. Secara kultural, Kiai menjadi pemimpin masyarakat yang dipercaya dapat membimbing mereka kepada jalan kebenaran dan keselamatan.

Sebagai seorang tokoh, kepemimpinan Kiai meniscayakan sebuah keharusan yang menjadi kebutuhan para pengikutnya. Sebagai pimpinan tertinggi pondok pesantren, seorang Kiai harus memiliki kemampuan dan keterampilan manajerial yang mempuni dalam mengelola dan mengembangkannya. Sebagai tokoh agama, seorang Kiai dituntut untuk selalu bisa menyelesaikan persoalan keagamaan dalam kehidupan umatnya. Sebagai tokoh masyarakat, sosok Kiai selalu diharapkan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat untuk selalu menyapa dan memberikan pencerahan dalam perkembangan kehidupan yang semakin kompleks.

Melalui berbagai even, Kiai Azaim tampil sebagai tokoh yang harus selalu serba bisa memenuhi selera berbagai kalangan, dari pejabat negara hingga tamu mancanegara. Dari polisi hingga politisi. Dari praktisi hingga akademisi. Dari TNI hingga buruh tani. Dari warga kota hingga penghuni pelosok desa. dan lain sebagainya.

Pada peringatan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2016 yang lalu, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengungkapkan tiga jimat Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang selalu dibawanya saat perang gerilya untuk kemerdekaan Indonesia. Gatot menyebutkan, jimat pertama adalah tidak putus dari wudhu. Kedua, salat tepat waktu, dan jimat terakhir mengabdikan diri dengan tulus ikhlas membela Tanah Air. Dari sini kita dapat melihat bahwa kunci sukses sebagai seorang pemimpin adalah selalu menyandingkan antara kesalihan spiritual dan kesalihan sosial sebagai kesatuan yang integral dan tidak bisa dipisahkan.

Selain realitas tersebut, saya meyakini bahwa tokoh-tokoh besar yang ada dalam kehidupan kita adalah merupakan orang-orang terpilih di zamannya. Bagi orang-orang terpilih, Karisma sebagai seorang pemimpin akan selalu menyertai dimanapun dia berada dalam  apapun jabatannya. Teori ini dikenal dengan teori genetic, dimana menurut teori ini seorang pemimpin telah dilahirkan dengan bakat pemimpin. Dalam keadaan bagaimana pun seorang ditempatkan pada suatu waktu ia akan menjadi pemimpin karena ia memang dilahirkan untuk itu. Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin.

Dalam teori ini, usia bukanlah penentu bagi seorang pemimpin untuk mendapatkan karismanya yang kuat. Dengan bakat kepemimpinan, karisma selalu menjadi pendamping dari setiap kepemimpinannya berapapun usia tokoh tersebut.

Jenderal Soedirman dan KHR. Ach. Azaim Ibrahimy adalah contoh pemimpin muda yang memiliki karisma kuat dan semangat perjuangan yang sangat luar biasa.

Semoga pemimpin masa depan bangsa ini, senantiasa terlahir dari orang-orang yang memang terpilih, baik tua maupun muda. Bukan dari kalangan orang yang memaksakan diri untuk terpilih.

Sabtu, 12 November 2016

PEMILIK SEJARAH ITU BERNAMA AS'AD

Secara sederhana Sejarah dapat diartikan sebagai “hal yang telah terjadi”, singkatnya sejarah adalah masa lalu. Ketika suatu pristiwa, tindakan atau tragedi telah terjadi maka peristiwa tindakan atau tragedi itu disebut sebagai fakta sejarah, sedangkan orang-orang yang terlibat didalamnya disebut pelaku sejarah.
Membahas sejarah sama halnya dengan membahas kebenaran, Begitu relatif! Sehingga dalam sejarah muncul multi prespektif, tentu Hal itu disebabkan karena manusia sebagai pelaku sejarah memiliki sudut pandang dan kepentingan yang berbeda, sehingga sejarah sama dengan kebenaran yang mutlak eksestensinya tapi bersifat relatif prepektifnya.
Dari kemultiprespektifan itu menjadikan sejarah hanya milik pemenang, artinya pemenang dianggap sebagai maenstream dalam kajianya, Jika dianalogikan sebagai sebuah FILM maka Pemenang adalah Sutradara yang terkadang sekaligus menjadi Bintang Film tentu dengan gaya Protagonisnya sedangkan Yang Kalah tentu menjadi Bintang Film dengan gaya Antagonisnya. Siapakah pemenang Sejarah ? ya mereka-mereka yang berpengaruh/kuat. Hukum alam abdi paling berpengaruh dalam hal ini bahwa siapa yang kuat dialah yang menang dan menentukan arah sejara.
Namun tidak demikian halnya dengan Kiai As'ad. Semasa hidupnya, beliau sangat tidak berkenan jika sejarah perjuangannya hendak ditulis oleh siapapun. Kisah-kisah heroik yang beliau sampaikan tak lebih dari hanya sekedar motivasi bagi santri dan masyarakat agar tetap memelihara dan mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh seluruh lapisan di negeri ini dengan susah-payah. Bukan dalam rangka ingin mendapatkan pengakuan halayak, apalagi mengharapkan penghargaan.
Jika pada tanggal 9 Nopember 2016 Presiden menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai As'ad, sudah barang tentu itu bukan merupakan ambisi pribadi beliau, meskipuan beliau tampil sebagai Sang Pemenang. Gelar Pahlawan Nasional yang disandang juga bukan keinginan keluarga, yang dimata mereka Kiai As'ad sudah merupakan pahlawan sejati. Gelar Kepahlawanan tersebut murni murni merupakan usulan masyarakat beserta Pemerintah Daerah Situbondo yang telah merasakan jasa-jasa perjuangan Kiai As'ad dalam merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik tercinta ini.
Sang Pemenang yang lebih suka disebut sebagai Tokoh dibalik Layar, kini sudah waktunya menaiki panggung kehormatan. Saya yakin, kedepan akan lahir kisah-kisah heroik beliau yang lebih spektakuler yang selama ini terpendam. Siapapun bila mencari dan melakukannya, agar kita semua dapat meneladani kegigihan dan ketulusan perjuangannya.

Jumat, 21 Oktober 2016

FENOMENA "SANTRI"

FENOMENA "SANTRI"


Ada banyak hasil penelitian dan karya tulis yang tersaji terkait dengan "santri", dari yang fiksi hingga yang ilmiah. Beragam data dan argumen dilontarkan untuk memaknai dan mendefinisikan kata "santri" itu sendiri.

Pemaknaan-pemaknaan kata "santri" tersebut dilatari dari ragam sudut pandang kelompok/orang yang memaknainya. Ada yang memaknai dasi sisi bahasa, kultur, tradisi bahkan dari sudut agama.

Ragam makna "santri" selama ini diantaranya adalah;
1. "Santri" berasal dari kata "Syastri", yang memiliki makna orang/kelompok yang mempelajari kitab suci.
2. "Santri" berasal dari kata "Cantrik", yang bermakna orang/pengawal setia (haddam/ajudan).
3. "Santri" berasal dari dua suku kata "San" yang berarti "suci", dan "Tri" yang berarti "tiga". Santri dimaknai sebagai orang/kelompok yang menjaga tiga nilai suci.
4. "Santri" merupakan kata serapan dari kata "Satria", yang bermakna jantan atau pemberani.

Pendefinisian atau pemaknaan ini menggambarkan tentang fenomena "santri" yang hingga hari ini tetap mempertahankan eksistensinya. Entah definisi mana yang mendekati kebenaran, nyaris benar, benar atau paling benar. Yang pasti, apapun definisinya, "santri" tetaplah "santri" dengan segenap keunikan hidup di dalamnya.

Uniknya, dari keempat definisi di atas, semuanya tercermin dalam kehidupan para kaum pembelajar di pondok pesantren dari masa ke masa. Mereka adalah kelompok yang mempelajari kitab suci Al-Qur'an. Sehari-hari mereka juga berkhidmah dan mengabdi kepada guru/kiai sebagai wujud penghormatan dan kepasrahan. Mereka juga sangat menjunjung tinggi tiga pilar agama, yaitu "iman, Islam dan ihsan". Mereka juga memiliki sifat kesatria dalam menegakkan agama, membela negara, mengobarkan semangat perjuangan yang dikumandangkan dalam Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Inilah hari yang menjadi momentum sejarah dalam menentukan Hari Santri Nasional pada setiap tanggal 22 Oktober.

SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL 2016

Sabtu, 15 Oktober 2016

PERADABAN SUKOREJO; Ikhtisar Perjalanan Satu Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo

PERADABAN SUKOREJO

Ikhtisar Perjalanan Satu Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Sukorejo Situbondo




Kini, dunia pesantren bukanlah sekedar kepanjangan tangan dari Tarbiyah Islamiah. Pesantren bukan pula bagian dari kebudayaan (sub-kultur) di Nusantara. Lebih dari itu, pesantren-pesantren tradisional di Jawa Timur (khususnya Pesantren Sukorejo) yang berdiri pada awal abad ke 19, dengan kesederhanaannya telah menanamkan dan melestarikan nilai-nilai Islam ahlus sunnah waljamaah. Salah satu nilai yang biasa dikenal; manusia yang sempurna adalah manusia yang berbuat baik dan berani melawan kemungkaran. Dari nilai tersebut, pesantren telah membentuk budaya berbudi luhur dan jiwa perjuangan untuk mengusir penjajah.
Pascakemerdekaan, penanaman nilai-nilai tersebut belum tuntas. Sampai tahun 70-an, “wajah” pesantren Nusantara yang masih merupakan bilik-bilik, musala, surau dan ada beberapa yang telah menggunakan masjid sehingga pesantren masih dipandang sebelah mata. Secara politis, keberadaan pesantren memang kurang diperhitungkan, namun secara ketokohan, sosok Kiai Cholil Bangkalan (1235-1343 H) dan K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947) serupa “penebar benih” bagi pesantren-pesantren berikutnya. Lalu, bagaimana dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo?
Mulanya, nama besar pesantren tersebut dikenal sebagai pesantren penggembleng ilmu Islam dan ilmu kedigdayaan. Lambat laun, pesantren ini semakin tersohor dimasa kepemimpinan KHR. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), sebagai penerus Pesantren Salafiyah Syafi’iyah sekaligus generasi perintis organisasi Nahdlatul Ulama. Ditambah lagi dengan cara berpikir yang “tajam” dan mendalam mengenai perubahan sistem pesantren dari model sorogan dan bandongan menjadi model madrasi atau madrasah, model tersebut menambah citra diri pesantren Sukorejo semakin terkenal sebagai pesantren pembaharu, khususnya di pulau Jawa.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam secara keseluruhan tetap menjalankan peran yang sangat krusial dalam tiga hal pokok: Pertama, transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge). Kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, reproduksi (calon-calon) ulama (reproduction of ulama). Di Indonesia, keberadaan pesantren sangat diminati dan bahkan menjadi sentral produk pemikiran Islam.
Menarik untuk melihat bagaimana sistem pendidikan di pesantren Sukorejo mampu membentuk self (diri/jiwa) manusia seutuhnya. Ketertarikan pada konsep self ini memang jarang dilirik dalam kajian pesantren. Bahkan dalam kajian kejiwaan atau ke-diri-an, sangat sukar dijumpai karya yang secara khusus mengaitkannya dengan pesantren. Hal ini disebabkan, karena cara pandangan terhadap pesantren lebih pada cara pandang dalam kajian ”agama sebagai sistem budaya” atau ”agama sebagai sistem nilai.” Harus diakui bahwa dominasi cara pandang kajian mengenai pesantren sebagai ”the other” dalam ilmu sosial, khususnya ketika muncul dikotomi klasifikasi yang diberikan oleh Geertz telah banyak mengundang sejumlah penelitian mengenai pesantren melalui cara pandang tersebut. Sehingga penjelasan mengenai dunia kepesantrenan lebih banyak menganalisis ”apa yang bergerak” di dalam ”penjara suci” tersebut, bukan pada substansi, khususnya pembangunan nafs (jiwa) di kalangan warga pesantren.
Hakikat pondok pesantren sebenarnya terletak pada isi/jiwanya, bukan pada kulitnya. Sedangkan pokok isi pondok pesantren adalah pendidikannya. Di dalam pendidikan itulah harus terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan terhadap falsafah hidup santri. Antara jiwa dan pendidikan yang telah terbina di dalam pesantren tidak dapat dipisahkan. Konsep ini yang telah dipertemukan dalam “ilmu alam” dan “ilmu amal”.
Pesantren Sukorejo bukan seperti pesantren-pesantren kebanyakan, pesatren Sukorejo tumbuh dan berkembang sesuai dengan citra dan fitrahnya sendiri. Karenanya, ilmu-ilmu yang dipelajari di pesantren Sukorejo adalah upaya untuk membina peradaban umat Islam seutuhnya, dimana sumbu utamanya adalah ”Belajar layaknya Nabi Adam dan berperilaku seperti Nabi Muhammad”.
Kelebihan lain dari Pesantren Sukorejo adalah hubungan yang sangat erat dengan masyarakat sekitar pesantren. Pesantren bukan hanya sekedar menjadi transformer yang berperan sekali waktu. Lebih dari itu, pesantren mampu memberi warna, corak, kultur, adat, budaya dan karakter terhadap masyarakat sebagai kesatuan yang integral.
Kiai Syamsul Arifin sang Muassis Ma’had tidak hanya mampu merubah hutan menjadi pesantren, tidak hanya berhasil memindahkan binatang buas dan makluk halus secara fisik belaka, namun jauh lebih dari itu, pemindahan makhluk-makhluk tersebut telah mampu memindahkan insting (gharizah) hewani yang dimiliki oleh manusia sebagai hayawan an-natiq yang hidup di areal babatan tersebut dan merubahnya menjadi manusia yang lebih beradab. Dimana perbedaan mendasar antara manusia dan hewan adalah hati dan akal. Dengan hati manusia dapat memiliki dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah masyarakat sesuai fitrah kemanusiaannya, baik sebagai hamba Allah maupun selaku khalifah-Nya di muka bumi. Tatanan dan ajaran yang dilakukan akirnya membentuk sebuah peradaban.
Apa dan bagaimana pesantren Sukorejo berperan sebagai lembaga pengembangan ilmu agama sekaligus sebagai lembaga yang intens dalam melakukan transformasi sosial, perlu untuk digali dan dieksplorasi. Penting meneladani perilaku, pemikiran dan peran para founding fathers dan pengasuh dalam membangun, menjalankan dan mengembangkan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dari masa ke masa selama kurun waktu seabad lebih, agar kita tetap merasa bersanding bersama mereka. Di dalam sebuah Atsar Rasulullah SAW. bersabda:





“Barangsiapa membuat sejarah orang mukmin (yang sudah meninggal) sama artinya ia menghidupkannya kembali; Barangsiapa membaca sejarahnya, seolah-olah ia mengun-junginya; dan barangsiapa yang mengunjunginya, maka Allah akan memberinya Surga.”[1]

Buku ini merupakan refleksi perjalanan satu abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo yang bertema “Mengukuhkan Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Islam. Dengan meneguhkan kembali pernyataan Louis Gottschalk—dalam “Understanding History: a Primer of Historical Method”(1958)bahwa masa lampau manusia tidak mungkin ditampilkan kembali secara utuh. Tidak mungkin dapat direkonstruksi oleh daya ingat setajam apapun, dan penulisan buku ini yang dilakukan dengan segala keterbatasan, sudah barang tentu di sana-sini masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya karya ini selalu kami harapkan. Lebih-lebih terhadap karya-karya kami ke depan, mengingat sebagian besar dari kami adalah santri yang masih baru menjadi penulis pemula.
Semoga karya ini cukup menjadi sumbangan yang berarti dalam peringatan satu abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, serta kita mampu menapaki, mengkaji, meneladani, merenungkan dan mengaktualisasikan apa yang menjadi cita-cita pendiri dan pengasuh pesantren selama ini. Sebuah amanah yang tidak semuanya tertulis, namun kita dapat memahaminya. Amin.


[1] Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar Ba’alawi, Bughyat al-Mustarsyidin, Darul Fikr, Beirut, 1417 H/1997 M. Hal. 97.

Rabu, 21 September 2016

SUKOREJO MULTYLEVEL & MULTYCULTURE

"SUKOREJO MULTILEVEL & MULTICULTURE"

Di awal dekade 1980-an, Pengurus Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo sempat menggagas dikotomi asrama santri berdasarkan jenjang pendidikan. Barangkali ide tersebut terinspirasi dari manajemen beberapa pesantren modern yang memisahkan asrama santrinya berdasarkan tingkat pendidikannya.

Namun sekonyong-konyong ide yang ditawarkan pengurus pesantren tersebut mendapatkan penolakan keras dari Kiai As'ad, selaku pengasuh pesantren kala itu. Beliau menjawab "laen pencak, laen ghembengan, cong !". Barangkali secara implisit maksud yang ingin Kiai As'ad sampaikan adalah "Lain Guru/Pesantren, lain pula manajemennya".

Sehingga sampai hari ini di Pesantren Sukorejo tetap memberlakukan percampuran Level (tingkat pendidikan) dan Kultur (asal daerah) dalam satu asrama. Meski tak ada alasan rasional yang disampaikan oleh Kiai As'ad dalam keberatannya, namun perlahan kita menyadari, membenarkan dan mengamini apa yang beliau pertahankan. Dari sistem pencampuran Multilevel dan Multikultur dalam satu asrama di pesantren Sukorejo ini, setidaknya terdapat beberapa makna positif yag dapat dipetik hikmahnya.

1. Adanya bimbingan dan pengayoman dari santri yang lebih senior kepada juniornya. atau dari santri yang lebih tinggi tingkat pendidikannya terhadap santri yang lebih rendah tingkat pendidikannya.
2. Dengan adanya pengayoman, diharapkan juga ada simbiosa yang muda menghormati yang lebih tua, atau yang berpendidikan rendah menghormati pada santri yang lebih tinggi tingkat pendidikannya.
3. Dapat menghargai perbedaan, baik berdasarkan status sosial, tingkat pendidikan ataupun latar belakang etnis dan kedaerahan. Harapannya adalah ketika kelakpara santri telah pulang bermasyarakat dapat menyikapi segala perbedaan dengan cara-cara yang santun dan bijaksana.
4. Dengan peleburan tanpa memperhatikan asal daerah, diharapkan dapat meminimalisir konsentrasi bentrokan antarsantri yang dilatarbelakangi sentimen kedaerahan...

Barangkali ini "diantara" maksud dan tujuan mengapa Kiai As'ad menolak untuk mendikotomikan asrama santri berdasarkan jenjang pendidikan.

(dikutip dari Buku PERADABAN SUKOREJO; Ikhtisar Perjalanan Satu Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo)