Sabtu, 15 Oktober 2016

PERADABAN SUKOREJO; Ikhtisar Perjalanan Satu Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo

PERADABAN SUKOREJO

Ikhtisar Perjalanan Satu Abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Sukorejo Situbondo




Kini, dunia pesantren bukanlah sekedar kepanjangan tangan dari Tarbiyah Islamiah. Pesantren bukan pula bagian dari kebudayaan (sub-kultur) di Nusantara. Lebih dari itu, pesantren-pesantren tradisional di Jawa Timur (khususnya Pesantren Sukorejo) yang berdiri pada awal abad ke 19, dengan kesederhanaannya telah menanamkan dan melestarikan nilai-nilai Islam ahlus sunnah waljamaah. Salah satu nilai yang biasa dikenal; manusia yang sempurna adalah manusia yang berbuat baik dan berani melawan kemungkaran. Dari nilai tersebut, pesantren telah membentuk budaya berbudi luhur dan jiwa perjuangan untuk mengusir penjajah.
Pascakemerdekaan, penanaman nilai-nilai tersebut belum tuntas. Sampai tahun 70-an, “wajah” pesantren Nusantara yang masih merupakan bilik-bilik, musala, surau dan ada beberapa yang telah menggunakan masjid sehingga pesantren masih dipandang sebelah mata. Secara politis, keberadaan pesantren memang kurang diperhitungkan, namun secara ketokohan, sosok Kiai Cholil Bangkalan (1235-1343 H) dan K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947) serupa “penebar benih” bagi pesantren-pesantren berikutnya. Lalu, bagaimana dengan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo?
Mulanya, nama besar pesantren tersebut dikenal sebagai pesantren penggembleng ilmu Islam dan ilmu kedigdayaan. Lambat laun, pesantren ini semakin tersohor dimasa kepemimpinan KHR. As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), sebagai penerus Pesantren Salafiyah Syafi’iyah sekaligus generasi perintis organisasi Nahdlatul Ulama. Ditambah lagi dengan cara berpikir yang “tajam” dan mendalam mengenai perubahan sistem pesantren dari model sorogan dan bandongan menjadi model madrasi atau madrasah, model tersebut menambah citra diri pesantren Sukorejo semakin terkenal sebagai pesantren pembaharu, khususnya di pulau Jawa.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam secara keseluruhan tetap menjalankan peran yang sangat krusial dalam tiga hal pokok: Pertama, transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge). Kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, reproduksi (calon-calon) ulama (reproduction of ulama). Di Indonesia, keberadaan pesantren sangat diminati dan bahkan menjadi sentral produk pemikiran Islam.
Menarik untuk melihat bagaimana sistem pendidikan di pesantren Sukorejo mampu membentuk self (diri/jiwa) manusia seutuhnya. Ketertarikan pada konsep self ini memang jarang dilirik dalam kajian pesantren. Bahkan dalam kajian kejiwaan atau ke-diri-an, sangat sukar dijumpai karya yang secara khusus mengaitkannya dengan pesantren. Hal ini disebabkan, karena cara pandangan terhadap pesantren lebih pada cara pandang dalam kajian ”agama sebagai sistem budaya” atau ”agama sebagai sistem nilai.” Harus diakui bahwa dominasi cara pandang kajian mengenai pesantren sebagai ”the other” dalam ilmu sosial, khususnya ketika muncul dikotomi klasifikasi yang diberikan oleh Geertz telah banyak mengundang sejumlah penelitian mengenai pesantren melalui cara pandang tersebut. Sehingga penjelasan mengenai dunia kepesantrenan lebih banyak menganalisis ”apa yang bergerak” di dalam ”penjara suci” tersebut, bukan pada substansi, khususnya pembangunan nafs (jiwa) di kalangan warga pesantren.
Hakikat pondok pesantren sebenarnya terletak pada isi/jiwanya, bukan pada kulitnya. Sedangkan pokok isi pondok pesantren adalah pendidikannya. Di dalam pendidikan itulah harus terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan terhadap falsafah hidup santri. Antara jiwa dan pendidikan yang telah terbina di dalam pesantren tidak dapat dipisahkan. Konsep ini yang telah dipertemukan dalam “ilmu alam” dan “ilmu amal”.
Pesantren Sukorejo bukan seperti pesantren-pesantren kebanyakan, pesatren Sukorejo tumbuh dan berkembang sesuai dengan citra dan fitrahnya sendiri. Karenanya, ilmu-ilmu yang dipelajari di pesantren Sukorejo adalah upaya untuk membina peradaban umat Islam seutuhnya, dimana sumbu utamanya adalah ”Belajar layaknya Nabi Adam dan berperilaku seperti Nabi Muhammad”.
Kelebihan lain dari Pesantren Sukorejo adalah hubungan yang sangat erat dengan masyarakat sekitar pesantren. Pesantren bukan hanya sekedar menjadi transformer yang berperan sekali waktu. Lebih dari itu, pesantren mampu memberi warna, corak, kultur, adat, budaya dan karakter terhadap masyarakat sebagai kesatuan yang integral.
Kiai Syamsul Arifin sang Muassis Ma’had tidak hanya mampu merubah hutan menjadi pesantren, tidak hanya berhasil memindahkan binatang buas dan makluk halus secara fisik belaka, namun jauh lebih dari itu, pemindahan makhluk-makhluk tersebut telah mampu memindahkan insting (gharizah) hewani yang dimiliki oleh manusia sebagai hayawan an-natiq yang hidup di areal babatan tersebut dan merubahnya menjadi manusia yang lebih beradab. Dimana perbedaan mendasar antara manusia dan hewan adalah hati dan akal. Dengan hati manusia dapat memiliki dan meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. agar mereka dapat menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah masyarakat sesuai fitrah kemanusiaannya, baik sebagai hamba Allah maupun selaku khalifah-Nya di muka bumi. Tatanan dan ajaran yang dilakukan akirnya membentuk sebuah peradaban.
Apa dan bagaimana pesantren Sukorejo berperan sebagai lembaga pengembangan ilmu agama sekaligus sebagai lembaga yang intens dalam melakukan transformasi sosial, perlu untuk digali dan dieksplorasi. Penting meneladani perilaku, pemikiran dan peran para founding fathers dan pengasuh dalam membangun, menjalankan dan mengembangkan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dari masa ke masa selama kurun waktu seabad lebih, agar kita tetap merasa bersanding bersama mereka. Di dalam sebuah Atsar Rasulullah SAW. bersabda:





“Barangsiapa membuat sejarah orang mukmin (yang sudah meninggal) sama artinya ia menghidupkannya kembali; Barangsiapa membaca sejarahnya, seolah-olah ia mengun-junginya; dan barangsiapa yang mengunjunginya, maka Allah akan memberinya Surga.”[1]

Buku ini merupakan refleksi perjalanan satu abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo yang bertema “Mengukuhkan Pesantren Sebagai Pusat Peradaban Islam. Dengan meneguhkan kembali pernyataan Louis Gottschalk—dalam “Understanding History: a Primer of Historical Method”(1958)bahwa masa lampau manusia tidak mungkin ditampilkan kembali secara utuh. Tidak mungkin dapat direkonstruksi oleh daya ingat setajam apapun, dan penulisan buku ini yang dilakukan dengan segala keterbatasan, sudah barang tentu di sana-sini masih terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya karya ini selalu kami harapkan. Lebih-lebih terhadap karya-karya kami ke depan, mengingat sebagian besar dari kami adalah santri yang masih baru menjadi penulis pemula.
Semoga karya ini cukup menjadi sumbangan yang berarti dalam peringatan satu abad Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, serta kita mampu menapaki, mengkaji, meneladani, merenungkan dan mengaktualisasikan apa yang menjadi cita-cita pendiri dan pengasuh pesantren selama ini. Sebuah amanah yang tidak semuanya tertulis, namun kita dapat memahaminya. Amin.


[1] Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar Ba’alawi, Bughyat al-Mustarsyidin, Darul Fikr, Beirut, 1417 H/1997 M. Hal. 97.

1 komentar: